Oleh: Said Yai, MA
Alhamdulillah. Allah sudah mengatur
seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk di dalamnya permasalahan
ekonomi, baik skala mikro (kecil) ataupun skala makro (besar).
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab
(Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat
dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS An-Nahl: 89)
Allah subhanahu wa ta’ala juga
mengatur seluruh permasalahan yang berhubungan dengan pengembangan usaha
bisnis, investasi dan pembagian keuntungan, sehingga umat ini bisa
menjalankan usahanya tanpa harus berkecimpung dalam riba dan dosa.
Di antara produk Islam di dalam bidang
ekonomi adalah Al-Mudharabah (bagi hasil). Al-Mudharabah ini bisa
menjadi salah satu solusi untuk bisnis skala kecil maupun besar,
terlebih lagi untuk orang-orang yang:
- Punya skill (kemampuan) dan pengalaman tetapi tidak punya modal.
- Punya modal yang uangnya ‘menganggur’ di bank tetapi tidak memiliki skill (kemampuan) dan pengalaman dan tetapi juga menginginkan keuntungan.
- Orang yang tidak punya kedua hal di atas, tetapi bisa diajak bekerja dan bekerjasama.
Ketiga kekuatan ini apabila digabungkan, insya Allah akan menjadi kekuatan yang besar untuk ‘mendongkrak’ perekonomian Islam.
Di zaman nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
hal ini sudah biasa dikenal. Di dalam fiqh, bagi hasil disebut
Al-Mudharabah atau Al-Muqaradhah. Hal ini diperbolehkan dan
disyariatkan. Di antara dalilnya adalah sebuah atsar dari Hakim bin
Hizam radhiallahu ‘anhu:
عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ
أَنَّهُ كَانَ يَدْفَعُ الْمَالَ مُقَارَضَةً إِلَى الرَّجُلِ وَيَشْتَرِطُ
عَلَيْهِ أَنْ لاَ يَمُرَّ بِهِ بَطْنَ وَادٍ وَلاَ يَبْتَاعُ بِهِ
حَيَوَانًا وَلاَ يَحْمِلَهُ فِى بَحْرٍ فَإِنْ فَعَلَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ
فَقَدْ ضَمِنَ ذَلِكَ الْمَالَ قَالَ فَإِذَا تَعَدَّى أَمْرَهُ ضَمَّنَهُ
مَنْ فَعَلَ ذَلِكَ.
“Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam, dulu
beliau menyerahkan harta untuk diusahakan sampai ajal tertentu. Beliau
memberi syarat pada usahanya agar jangan melewati dasar wadi (sungai
kering), jangan membeli hewan dan jangan dibawa di atas laut. Apabila
pengusahanya melakukan satu dari ketiga hal tersebut, maka pengusaha
tersebut wajib menjamin harta tersebut. Apabila pengusahanya menyerahkan
kepada yang lain, maka dia menjamin orang yang mengerjakannya.”[1HR
Ad-Daruquthni dalam Sunananya no. 3033 dan Al-Baihaqi dalam As-Sunan
Al-Kubra VI/111 no. 11944. Syaikh Al-Albani men-shahih-kannya dalam
Al-Irwa’ no. 1472.]
Bagaimana sebenarnya aturan Al-Mudharabah
dalam Islam? Apa saja persyaratan yang harus terpenuhi agar
Al-Mudharabah tidak terjatuh kepada perbuatan riba dan dosa?
Insya Allah soal-soal tersebut akan dijawab pada artikel ini.
Al-Mudharabah (bagi hasil) memiliki lima unsur penting (rukun), yaitu:
- Al-Mudhaarib (pemilik modal/investor) dan Al-‘Amil (pengusaha bisnis)
- Shighatul-aqd (yaitu ucapan ijab dan qabul/serah terima dari investor ke pengusaha)
- Ra’sul-maal (modal)
- Al-‘Amal (pekerjaan)
- Ar-Ribh (keuntungan)
Di dalam Al-Mudharabah, Al-Mudhaarib (investor) menyerahkan ra’sul-maal (modal) kepada Al-‘Amil (pengusaha)
untuk berusaha, kemudian keuntungan dibagikan kepada investor dan
pengusaha dengan prosentase (nisbah) yang dihitung dari keuntungan
bersih (ar-ribh).
Pengusaha tidak mengambil keuntungan dalam
bentuk apapun sampai modal investor kembali 100 %. Jika modalnya telah
kembali, barulah dibagi keuntungannya sesuai prosentase yang disepakati.
Di dalam Al-Mudharabah kedua belah
pihak selain berpotensi untuk untung, maka kedua belah pihak berpotensi
untuk rugi. Jika terjadi kerugian, maka investor kehilangan/berkurang
modalnya, dan untuk pengusaha tidak mendapatkan apa-apa.
Apabila terjadi kerugian, maka investor tidak
boleh menuntut pengusaha apabila pengusaha telah benar-benar bekerja
sesuai kesepakatan dan aturan, jujur dan amanah.
Investor bisa menuntut pengusaha apabila ternyata pengusaha:
- Tafrith (menyepelekan bisnisnya dan tidak bekerja semestinya), seperti: bermalas-malasan, menggunakan modal tidak sesuai yang disepakati bersama.
- Ta’addi (menggunakan harta di luar kebutuhan usaha), seperti: modal usaha dipakai untuk membangun rumah, untuk menikah dll.
Inilah garis besar permasalahan dalam Al-Mudharabah. Dan selanjutnya akan penulis rinci satu persatu.
A. Investor dan Pengusaha
Investor dan pengusaha adalah orang-orang
yang diperbolehkan di dalam syariat untuk menggunakan harta dan bukan
orang yang dilarang dalam menggunakan harta, seperti: orang gila, anak
kecil yang belum mumayyiz, orang yang dibatasi penggunaan hartanya oleh pengadilan dan lain-lain.
Anak yang belum baligh tetapi sudah mumayyiz
boleh menjadi investor atau pengusaha, meskipun ada perselisihan
pendapat dalam hal ini.
B. Akad
Akad Al-Mudharabah membutuhkan kejelasan dari
kedua belah pihak. Dan kejelasan tersebut tidak diketahui kecuali
dengan lafaz atau tulisan. Oleh karena itu, ijab-qabul (serah terima)
modal, harus terpenuhi hal-hal berikut:
– Adanya kesepakatan jenis usaha
– Adanya keridhaan dari kedua belah pihak
– Diucapkan atau ditulis dengan lafaz yang jelas dan bisa mewakili keinginan investor maupun pengusaha
Karena akad ini adalah akad kepercayaan, maka
sebaiknya akad tersebut tertulis dan disaksikan oleh orang lain.
Apalagi di zaman sekarang ini, banyak orang yang melalaikan amanat yang
telah dipercayakan kepadanya.
C. Modal
Para ulama mensyaratkan empat syarat agar harta bisa menjadi modal usaha. Keempat syarat tersebut yaitu:
– Harus berupa uang atau barang-barang yang bisa dinilai dengan uang
Para ulama berijma’ bahwa yang dijadikan
modal usaha adalah uang. Tetapi mereka berselisih pendapat tentang
kebolehan menggunakan barang-barang yang dinilai dengan uang. Pendapat
yang kuat adalah pendapat yang mengatakan hal tersebut diperbolehkan.
Karena sebagian orang tidak memiliki uang dan sebagian lagi hanya
memiliki barang, padahal barang tersebut di dalam usaha juga sangat
dibutuhkan sehingga harus mengeluarkan uang untuk mengadakannya.
Sebagai contoh adalah ruko (rumah toko). Ruko
di tempat yang strategis sangat prospek untuk membuka lahan usaha. Ruko
tersebut dihitung harga sewanya, misalkan, satu tahun sebesar Rp 40
juta, maka secara akad dia berhak memiliki saham senilai Rp 40 juta.
– Harus nyata ada dan bukan hutang
Seorang investor tidak boleh mengatakan, “Saya berinvestasi kepadamu Rp 10 juta tetapi itu hutang saya dan nanti saya bayar.”
– Harus diketahui nilai harta tersebut
Modal yang dikeluarkan harus diketahui
nilainya dan tidak boleh mengambang. Misalkan ada seseorang berinvestasi
Rp 100 juta, yang lain berinvestasi 1000 sak semen dan yang lain
berinvestasi batu bata 100 ribu bata, maka semuanya harus dinominalkan
dulu dengan uang. Misalkan 1000 sak semen dihargai dengan Rp 80 juta.
Dan 100 ribu bata dengan Rp 70 juta. Sehingga diketahui perbandingan
masing-masing modal yang dikeluarkan oleh investor agar bisa dibagi
secara adil ketika mendapatkan keuntungan.
– Harus diserahkan kepada pengusaha
Modal dari investor harus diserahkan kepada
pengusaha, sehingga modal tersebut bisa diusahakan. Modal tersebut tidak
boleh ditahan oleh investor.
D. Jenis Usaha
Tidak ada pembatasan jenis usaha di dalam
Al-Mudharabah. Al-Mudharabah bisa terjadi pada perdagangan, eksploitasi
hasil bumi, properti, jasa dan lain-lain. Yang paling penting usaha
tersebut adalah usaha yang halal menurut syariat Islam.
E. Keuntungan
Para ulama mensyaratkan tiga syarat dalam pembagian keuntungan
– Harus ada pemberitahuan bahwa modal yang
dikeluarkan adalah untuk bagi hasil keuntungan, bukan dimaksudkan untuk
pinjaman saja.
– Harus diprosentasekan keuntungan untuk investor dan pengusaha
Keuntungan yang diperoleh juga harus jelas,
misal untuk investor 40% dan pengusaha 60%, 50% – 50%, 60% – 40%, 5 % –
95% atau 95% – 5%. Hal ini harus ditetapkan dari awal akad.
Tidak diperkenankan membagi keuntungan 0% – 100% atau 100% – 0%.
Besar prosentase keuntungan adalah bebas, tergantung kesepakatan antara kedua belah pihak.
– Keuntungan hanya untuk kedua belah pihak
Tidak boleh mengikut sertakan orang yang
tidak terlibat dalam usaha dengan prosentase tertentu. Misal A adalah
investor dan B adalah pengusaha. Si B mengatakan, “Istri saya si C harus
mendapatkan 10 % dari keuntungan.” Padahal istrinya tidak terlibat sama
sekali dalam usaha. Apabila ada orang lain yang dipekerjakan maka
diperbolehkan untuk memasukkan bagian orang tersebut dalam prosentase
keuntungan.
Kapankah pembagian keuntungan dianggap benar?
Keuntungan didapatkan apabila seluruh modal
investor telah kembali 100%. Jika modal investor belum kembali
seluruhnya, maka pengusaha tidak berhak mendapatkan apa-apa.
Oleh karena itu, Al-Mudharabah memiliki
resiko menanggung kerugian untuk kedua belah pihak. Untuk investor dia
kehilangan hartanya dan untuk pengusaha dia tidak mendapatkan apa-apa
dari jerih payahnya.
Sebagai contoh, di akhir pembagian hasil,
pengusaha hanya bisa menghasilkan 80% modal, maka 80% tersebut harus
diserahkan seluruhnya kepada investor dan pengusaha tidak mendapatkan
apa-apa.
Apakah boleh pengusaha mengambil jatah perbulan dari usahanya?
Apabila hal tersebut masuk ke dalam
perhitungan biaya operasional untuk usaha, maka hal tersebut tidak
mengapa, contoh: uang makan siang ketika bekerja, uang transportasi
usaha, uang pulsa telepon untuk komunikasi usaha, maka hal tersebut
tidak mengapa.
Tetapi jika dia mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri, maka hal tersebut tidak diperbolehkan.
Sebelum modal kembali dan belum mendapatkan
keuntungan maka usaha tersebut beresiko rugi. Oleh karena itu, tidak
diperkenankan pengusaha mengambil keuntungan di awal, karena pengusaha
dan investor tidak mengetahui apakah usahanya nanti akan untung ataukah
rugi.
Bagaimana solusinya agar pengusaha
yang tidak memiliki pekerjaan sampingan selain usaha tersebut bisa
mendapatkan uang bulanan untuk hidupnya?
Apabila pengusaha berhutang kepada simpanan
usaha tersebut sebesar Rp 3 juta/bulan, misalkan, dan hal tersebut
disetujui oleh investor, maka hal tersebut diperkenankan.
Hutang tersebut harus dibayar. Hutang tersebut bisa dibayar dari hasil keuntungan nantinya.
Apabila pengusaha berhutang Rp 10 juta,
misalkan, dan ternyata pembagian keuntungannya dia mendapatkan Rp 15
juta, maka Rp 15 juta langsung dipergunakan untuk membayar hutangnya Rp
10 juta. Dan pengusaha berhak mendapatkan Rp 5 juta sisanya.
Akan tetapi, jika tenyata pembagian
keuntungannya hanya Rp 8 juta, berarti hutang pengusaha belum terbayar
seluruhnya. Pengusaha masih berhutang Rp 2 juta kepada investor.
Dan yang perlu diperhatikan dan ditekankan
pada tulisan ini, dalam Al-Mudharabah, keuntungan didapatkan dari
prosentase keuntungan bersih dan bukan dari modal.
Adapun yang diterapkan di lembaga-lembaga
keuangan atau perusahan-perusahaan yang menerbitkan saham, keuntungan
usaha didapatkan dari modal yang dikeluarkan, dan modal yang
diinvestasikan bisa dipastikan keamanannya dan tidak ada resiko
kerugian, maka jelas sekali ini adalah riba.
Setelah membaca paparan di atas, tentu kita
akan mengetahui hikmah yang sangat besar di dalam syariat kita.
Bagaimana syariat kita mengatur agar jangan sampai terjadi kezaliman
antara pengusaha dengan investor, jangan sampai terjadi riba dan jangan
sampai perekonomian Islam melemah sehingga tergantung dengan orang-orang
kafir.
Coba kita bayangkan jika seluruh usaha baik
kecil maupun besar menerapkan sistem bagi hasil ini, maka ini akan
menjadi solusi yang sangat hebat agar terhindar dari berbagai macam riba
yang sudah membudaya di masyarakat kita.
Ini juga menjadi solusi bagi orang-orang yang
tidak memiliki modal sehingga bisa memiliki usaha mandiri dan ini juga
menjadi solusi untuk orang-orang yang tidak memiliki pekerjaan, sehingga
bisa membuka lapangan pekerjaan untuk masyarakat.
Sungguh indah syariat Islam, karena dia berasal dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Demikian. Mudahan bermanfaat.
Maraji’:
- Al-Mudharabah fi Asy-Syari’ati Al-Islamiyah. Abdullah bin Hamd bin ‘Utsman Al-Khuwaithir. Kunuz Isybilia.
- As-Sunan Al-Kubra. Abu Bakr Ahmad bin Al-Husain Al-Baihaqi. Majlis Dairatil-Ma’arif.
- Sunan Ad-Daruquthni. Abul-Hasan ‘Ali bin ‘Umar Ad-Daruquthni.
- Syarhul-Mumti’. Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.
- Dan lain-lain.
0 comments:
Post a Comment