Oleh: ustadz Said Yai Ardiansyah, MA
Pengertian Deposito
Salah
satu produk yang diterbitkan oleh bank adalah deposito. Deposito adalah
tabungan berjangka yang tidak boleh diambil sampai habis jangka waktu
yang disepakati dengan mendapatkan prosentasi keuntungan dari uang yang
didepositokan. Apabila mengambil uang yang telah didepositokan, maka
akan terkena denda yang telah ditetapkan oleh bank.
Contoh dari penerapan deposito ini dimisalkan sebagai berikut:
Joko
ingin memanfaatkan produk deposito. Dia mendepositokan uangnya sebesar
Rp 50 juta dalam jangka waktu 3 bulan. Bunga deposito selama setahun
adalah 5 %. Jadi dalam sebulan dia mendapatkan = Rp 50 juta x 5 % : 12
bulan = Rp 208.333,33/bulan. Kemudian penghasilan tersebut dipotong
pajak penghasilan 20 %. Dengan demikian Joko dalam tiga bulan
mendapatkan Rp 208.333,33 x 3 bulan = Rp 625.000,00 , sebelum dipotong
pajak.
Joko
tidak perlu khawatir dengan uang yang didepositokannya. Uang tersebut
pasti mendapatkan keuntungan walaupun tidak begitu besar. Meskipun bank
sedang pailit atau merugi, bank tetap harus membayarkan keuntungan/bunga
dari uang yang didepositokan Joko.
Di
lain sisi ada juga produk serupa yang diterbitkan oleh beberapa Lembaga
Keuangan Syariah. Mereka menamakannya dengan mudharabah atau bagi
hasil. Mereka menyatakan bahwa uang modal yang di-mudharabah-kan akan
digunakan untuk usaha yang halal, sehingga menghasilkan keuntungan yang
dapat dibagi setiap bulannya. Mereka menetapkan keuntungan yang besarnya
diprosentasekan dari modal. Meskipun mereka menyatakan bahwa
prosentasenya bisa berubah-ubah tergantung keadaan bank, tetapi
keuntungan masih didapatkan meskipun bank dalam keadaan merugi atau
usahanya merugi.
Bagaimana
sebenarnya memahami kasus seperti ini? Apakah hal ini termasuk
keuntungan yang halal ataukah hal ini mengandung unsur riba? Jika ini
riba, bagaimana seharusnya solusi terbaik yang diberikan?
Memahami Riba
Sebelum
kita membahas permasalahan ini, penulis perlu tekankan bahwa kita
jangan terpengaruh dengan istilah/penamaan yang digunakan oleh berbagai
lembaga keuangan. Kita harus melihat kepada hakikat transaksinya
sehingga kita bisa menghukumi setiap permasalahan dengan tepat.
Kita
juga harus paham bahwasanya yang dimaksud dengan riba atau lebih
spesifik disebut riba nasiah adalah mengambil keuntungan dari hutang
yang dipinjamkan.
Riba
diharamkan oleh Allah secara mutlak, baik tambahannya banyak maupun
sedikit, baik berupa uang lebih maupun manfaat atau jasa. Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا
“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS Al-Baqarah: 275)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengatakan:
وَرِبَا
الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ وَأَوَّلُ رِبًا أَضَعُ رِبَانَا رِبَا
عَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَإِنَّهُ مَوْضُوعٌ كُلُّهُ
“…
Dan riba jahiliah dihapuskan. Riba pertama yang saya hapuskan dari
riba-riba kita adalah riba ‘Abbas bin Abdil-Muththalib. Sesungguhnya
riba tersebut dihapuskan semuanya.”[Muslim no. 1218.]
Imam Asy-Syafii rahimahullah pernah menerangkan:
وَكَانَ
مِنْ رِبَا الجَاهِلِيَّةِ أَنْ يَكُوْنَ لِلرَّجُلِ عَلَى الرَّجُلِ
الدَّيْنُ فَيَحِلُّ الدَّيْنُ ، فَيَقُوْلُ لَهُ صَاحِبُ الدَّيْنِ :
تَقْضِيْ أَوْ تربي ، فَإِنْ أَخَّرَهُ زَادَ عَليْه وَأَخَّرَه
“Di
antara bentuk riba jahiliah adalah seseorang memiliki hutang kepada
orang lain, kemudian hutang tersebut jatuh tempo, kemudian orang yang
meminjamkan uang berkata, ‘Engkau bayar atau engkau tambahkan
(ribakan)?’ Jika dia ingin mengakhirkannya, maka dia menambahnya.”[Lihat: Ma’rifatu As-Sunan Wal-Atsar lil-Baihaqi VIII/29 no. 3395]
Zaid bin Aslam rahimahullah pernah berkata:
كَانَ
الرِّبَا فِى الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ يَكُونَ لِلرَّجُلِ عَلَى الرَّجُلِ
الْحَقُّ إِلَى أَجْلٍ فَإِذَا حَلَّ الْحَقُّ قَالَ أَتَقْضِى أَمْ
تُرْبِى فَإِنْ قَضَاهُ أَخَذَ وَإِلاَّ زَادَهُ فِى حَقِّهِ وَزَادَهُ
الآخَرُ فِى الأَجَلِ.
“Dulu
riba di masa jahiliah, seseorang memiliki suatu hak kepada orang lain
sampat tempo tertentu. Apabila telah jatuh tempo, maka dia berkata,
‘Engkau mau membayarnya atau engkau tambahkan (ribakan)?’ Apabila dia
bayar, maka dia ambil haknya dan jika tidak, maka orang tersebut
menambahnya dan bertambah pula temponya.”[Muwaththa’Al- Imam Malik. Bab
Maa Jaa-a fir-Riba fid-Dain, II/672 no. 1353]
Kaidah Memahami Riba
Para ulama juga telah membuatkan kaidah fiqhiyah untuk mengenal semua jenis riba, kaidah tersebut berbunyi:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبَا
“Setiap perhutangan yang menghasilkan manfaat (untuk orang yang meminjamkannya), maka dia adalah riba.”
Kaidah ini sangat penting untuk mengenal berbagai macam jenis riba saat ini.
Hukum Deposito Bank
Kalau
kita perhatikan kasus di atas, maka kita bisa menghukumi bahwa deposito
bank dan mudharabah LKS di atas masih mengandung riba di dalamnya
sehingga diharamkan. Karena sebenarnya orang yang mendepositokan uangnya
di bank, dia sedang meminjamkan uangnya kepada bank, kemudian dia
mendapatkan keuntungan dari uang yang dipinjamkan tersebut, keuntungan
tersebut pasti dia dapatkan dan tidak ada resiko untuk rugi apabila bank
rugi.
Jika keuntungan yang didapat tidak lebih dari 10 %, boleh atau tidak?
Sebagian
orang menyangka bahwa boleh mendepositokan uang dengan alasan hasil
yang didapat jika tidak besar, maka tidak mengapa. Sebagian orang
mengatakan bahwa jika tidak lebih dari 10 % maka tidak mengapa.
Bagaimana menanggapi hal ini?
Memang ada yang berpendapat demikian. Mereka salah dalam memahami ayat ini:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (130)
“Hai
orang-orang yang beriman! Janganlah kalian memakan riba dengan berlipat
ganda dan bertakwalah kalian kepada Allah supaya kalian mendapat
keberuntungan!”, (QS Ali ‘Imran: 130)
Mereka
mengatakan bahwa riba yang diharamkan adalah riba yang berlipat-lipat
keuntungannya, sedangkan yang tidak berlipat-lipat maka tidak mengapa.
Mereka
salah memahami ayat ini karena mereka mungkin tidak mengetahui bahwa
larangan riba dilakukan dengan empat tahap pelarangan, yaitu sebagai
berikut:
Tahap I: Firman Allah ta’ala:
وَمَا
آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو
عِنْدَ اللَّهِ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ
فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ (39)
“Dan
sesuatu riba (tambahan) yang kalian berikan agar dia bertambah pada
harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa
yang kalian berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai
keridaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang
melipat gandakan (pahalanya).” (QS Ar-Rum: 39)
Pada ayat ini Allah hanya menyindir pelaku riba.
Tahap II: Firman Allah ta’ala:
فَبِظُلْمٍ
مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ
لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا (160) وَأَخْذِهِمُ
الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ
بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
(161)
“
(160) Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas
(memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi
mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah,
(161) Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka
telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang
dengan jalan yang batil. kami telah menyediakan untuk orang-orang yang
kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (QS An-Nisa’: 160-161)
Pada
ayat ini Allah menerangkan bahwa riba dilarang kepada orang-orang
Yahudi, tetapi mereka masih melakukannya. Dan belum dijelaskan apakah
riba juga diharamkan pada kaum muslimin.
Tahap III: Firman Allah ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (130)
“Hai
orang-orang yang beriman! Janganlah kalian memakan riba dengan berlipat
ganda dan bertakwalah kalian kepada Allah supaya kalian mendapat
keberuntungan!”, (QS Ali ‘Imran: 130)
Pada
ayat ini Allah mulai mengharamkan riba, tetapi yang disinggung hanyalah
riba yang berlipat ganda, sehingga sebagian sahabat menyangka bahwa
riba yang sedikit masih tidak mengapa.
Tahap IV: Firman Allah ta’ala:
الَّذِينَ
يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي
يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا
إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ
الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا
سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ
النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (275) يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا
وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
(276) إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا
الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا
خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (277) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ
مُؤْمِنِينَ (278) فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ
اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا
تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ (279)
“
(275) Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan) penyakit. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka
berkata (berpendapat), ‘Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba’,
padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhan-nya, lalu
terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
(276)
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak
menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat
dosa. (277) Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal
saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di
sisi Tuhan-nya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula)
mereka bersedih hati.
(278)
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan
sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian orang-orang yang beriman.
(279) Maka jika kalian tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka
ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangi kalian. Dan jika
kalian bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu;
kalian tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS Al-Baqarah: 275-279)
Dengan
memahami tahap-tahap ini, seseorang akan paham bahwa pada akhirnya riba
diharamkan secara mutlak oleh Allah subhanahu wa ta’ala, baik banyak
maupun sedikit.[Lihat: Fiqh sunnah 3/174 dan At-Tadarruj fi Tahriim
Ar-Riba (www.hablullah.com)]
Dan
dengan jelas juga diterangkan pada hadits di atas, bahwa riba
dihapuskan seluruhnya dan riba yang pertama kali dihapuskan adalah riba
‘Abbas radhiallahu ‘anhu. Dan hadits tersebut adalah potongan dari
khutbah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di ‘Arafah. Sehingga
perharaman riba secara mutlak adalah pengharaman terakhir sebelum beliau
wafat.
Jika demikian, bagaimana solusi yang ditawarkan dalam syariat kita?
Di
dalam Islam, permasalahan penanaman modal untuk mendapatkan keuntungan
sudah diatur. Permasalahan ini disebut dengan mudharabah (bagi hasil)[Mudharabah yang sebenarnya dan bukan versi beberapa Lembaga Keuangan Syariat, penj].
Di dalam mudharabah terdapat: pemilik modal (shahibul-mal), pengusaha
(mudharib), modal yang dikeluarkan (ra’sul-mal) dan pembagian keuntungan
(ribh).
Pembagian
keuntungan diprosentasekan dari keuntungan dan bukan dari modal, misal
untuk pemilik modal 40 % dan untuk pengusaha 60 % atau pemilik modal 55 %
dan pengusaha 45 %, sesuai kesepakatan antara mereka berdua di awal
akad.
Apabila
terjadi kerugian, maka pengusaha tidak mendapatkan apa-apa dan pemilik
modal kehilangan modalnya. Inilah yang tidak dimiliki oleh lembaga
keuangan.
Apabila
terjadi sengketa, maka bisa diselesaikan dengan melihat amanat dari
pengusaha. Jika pengusaha amanat dalam menjalankan usaha dan ternyata
usaha merugi, maka pemilik modal tidak boleh menuntutnya. Akan tetapi,
seandainya pengusaha tidak amanat dalam menggunakan harta, seperti:
menggunakan untuk keperluan pribadinya, menggunakan modal tidak sesuai
kesepakatan, maka pemilik modal bisa menuntut untuk dikembalikan
modalnya.
Inilah
solusi yang tepat yang diberikan oleh syariat. Daripada menggunakan
produk deposito bank, maka solusi yang terbaik adalah dengan
menjadikannya sebagai modal usaha. Bahkan kalau dihitung-hitung, maka
keuntungan yang diperoleh dari mudharabah lebih besar daripada deposito
bank.
Bukankah Bank-Bank Syariat telah menerapkan mudharabah jenis ini?
Hal
tersebut tidak benar, karena dalam praktiknya mereka masih belum bisa
lepas dari riba. Salah satu alasannya adalah mereka tidak diberi hak
untuk berusaha mencari keuntungan selain dengan cara simpan dan pinjam
saja.
Jika
mereka mampu atau diizinkan menjadi perusahaan sendiri yang memiliki
berbagai usaha halal dan orang-orang yang memiliki uang bisa menanamkan
sahamnya di sana dengan kesiapan menanggung kerugian jika ternyata
usahanya rugi dan mendapatkan keuntungan dari prosentase keuntungan
bukan dari modal, maka hal tersebut menjadi solusi untuk kasus seperti
ini.
Demikian tulisan singkat ini. Mudahan bermanfaat.
Daftar Pustaka:
- Al-Asybah wa An-Nazhair ‘ala Madzhabi Abi Hanifah An-Nu’man. Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah.
- Al-Farqu Baina Al-Bai’ Wa Ar-Riba. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan. Ar-Riyadh: Dar Al-Qasim.
- Al-Mudharabah fi Asy-Syari’atil-Islamiyah. ‘Abdullah bin Hamd bin ‘Utsman Al-Khuwaithir. Ar-Riyadh: Dar Kanuz Isybilia.
- Fiqh As-Sunnah. Sayyid Sabiq. Beirut: Muassasah Ar-Risalah.
- Muwaththa’ Al-Imam Malik. Mesir: Dar Ihya’ At-Turats Al-‘Arabi.
- Dan lain-lain sebagian sudah dicantumkan di footnotes.