Jadi orang miskin sering kali bukanlah pilihan, namun keterpaksaaan
alias kodrat. Betapa banyak dari orang miskin yang berjuang dengan
banting tulang peras keringat sepanjang siang dan selebar malam. Namun
walaupun keringat telah diperas dan tulang telah dibanting, toh tetap
saja kemiskinan tetap melilit dengan erat.
Kondisi banyak dari mereka memang sangat menyedihkan, dan siapapun
yang mengetahuinya pasti tersayat pilu, dan merasa iba. Namun demikian,
apakah rasa iba dan pilu semata cukup untuk merubah kondisi mereka
menjadi kaya raya?
Demikian pula halnya dengan ikut menangis bersama mereka atau
merintih bersama mereka juga belum cukup untuk membalikkan kondisi
mereka. Rasa iba sepatutnya diikuti dengan langkah nyata, sehingga
derita dan beban saudara kita kaum faqir dan miskin menjadi ringan.
والله في عون العبد ما كان العبد في عون أخيه
“Dan Allah pasti menolong hamba-Nya selama hamba-Nya tersebut juga sudi untuk menolong saudaranya yang lain” (Muslim)
Karena itu dalam islam disyari’atkan berbagai syari’at yang bertujuan untuk mewujudkan sistem distribusi ulang (redistribution) harta kekayaan. Dalam sistem syariat Islam diajarkan: zakat, infak, hukum warisan, nafkah, manihah, hibah, hadiah, fai’, ghanimah, ariah, kafarat, ihyaul mawat (menghidupkan lahan tidur), hutang piutang yang bebas riba, dan lainnya.
Dengan berbagai syari’at tersebut harta kekayaan dapat berputar
secara berkesinambungan dan merata di seluruh lapisan masyarakat. Sistem
distribusi ulang yang diajarkan syari’at Islam menjamin terwujudnya
tatanan masyarakat yang adil dan harmonis, saling menyayangi dan
menyantuni, tepo seliro dan bersaudara.
مثل المؤمنين في توادهم وتراحمهم وتعاطفهم مثل الجسد إذا اشتكى منه عضو تداعى له سائر الجسد بالسهر والحمى
“Perumpamaan kaum mukminin dalam urusan cinta, kasih sayang dan
bahu membahu sesama mereka bagaikan satu tubuh, bila ada satu anggota
tubuh yang sakit niscaya seluruh tubuh turut merasakan susah tidur dan
demam” (Muttafaqun ‘Alaih)
Tulisan ini adalah upaya untuk menggambarkan tentang sistem
perekonomian Islam yang begitu indah. Harapannya anda dapat memahami
kondisi perekonomian masyarakat yang ada saat ini, yang menerapkan
sistem kapitalis; yang kaya harus tetap kaya dan bahkan semakin kaya
sedangkan yang miskin harus tetap miskin dan kalau bisa semakin miskin.
Kondisi semacam ini adalah hasil pasti dari sistem perekonomian
kapitalis, sebagaimana yang telah Allah Ta’ala perigatkan pada ayat
berikut:
(مَّا أَفَاء اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ
الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى
وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ
الْأَغْنِيَاء مِنكُمْ)
“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada
Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah,
Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan
orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar
di antara orang-orang kaya saja di antara kamu” (QS. al Hasyr 7)
Dan diisyaratkan pula oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada banyak hadits, diantaranya pada hadits berikut:
أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ
“Sejatinya Allah telah mewajibkan atas mereka untuk membayar
sedekah (zakat) yang dipungut dari orang orang kaya dan didistribusikan
ulang kepada kaum fakir dari kalangan mereka sendir“. (Muttafaqun ‘alaih)
Karena itu, siapapun, dan bagaimanapun dan apapun yang terjadi selama
sistem perekonomiannya adalah kapitalis, maka yang kekayaan itu hanya
dapat dinikmati oleh segelintir orang. Masihkah anda ragu dan mengharap
agar sistem perekonomian yang ada dapat mengentaskan anda atau saudara
anda dari kemiskinan? Bukankah, fakta telah membuktikan dan bahkan anda
telah menjadi bagian dari korbannya?
Hanya dengan memohon dan bertawakkal kepada Allah, selanjutnya anda
banting tulang dan peras keringat solusi yang tepat untuk menghadapi
kondisi perekonomian yang ada. Semoga Allah Ta’ala merahmati dan melindungi kita semua sehingga selamat dari petaka keangkara-murkaan penganut kapitalis.
—
Penulis: Ust. DR. Muhammad Arifin Baderi, Lc., MA.
0 comments:
Post a Comment